tugas sejarah arsitektur 1 tentang zaman batu dan zaman logam
A.
Zaman
Batu
Zaman Batu terjadi sebelum logam dikenal dan alat-alat kebudayaan
terutama dibuat dari batu di samping kayu dan tulang. Zaman Batu adalah pada
zaman itu ,manusia masih belum mengenal peralatan yg terbuat dari bahan lain
selain batu, mulai dari kampak ,ujung tombak,alat pemecah, atau untuk membelah
semuanya di buat atau berasal dari batu. Batu
pada wkt di temukan suddh berbentuk seperti kampak, ujung tombak ,atau
di sengaja buat sedemikian rupa, sehingga berbentuk seperti yg diinginkan, yaitu dengan menggunakan batu juga sebagai
alatnya. Karena, pada zaman itu tdk ada atau belum ditemukan logam seperti
zaman sekarang ini. Zaman batu ini dapat dibagi lagi atas:
1.
Zaman
Batu Tua (Palaeolithikum)
Palaeolithikum (Zaman batu tua) adalah zaman purba yang berlangsung
antara 750.000 tahun sampai 15.000 tahun yang lalu, ditandai oleh pemakaian
alat-alat serpih; zaman batu tua. Disebut Zaman batu tua (palaeolitikum), sebab alat-alat batu buatan manusia masih
dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis.
Pada zaman ini, manusia hidup secara nomaden dalam kumpulan kecil
untuk mencari makanan. Mereka memburu binatang, menangkap ikan dan mengambil
hasil hutan sebagai makanan. Mereka belum bisa bercocok tanam. Mereka
menggunakan batu, kayu dan tulang binatang untuk membuat peralatan memburu.
Mereka membuat pakaian dari kulit binatang tangkapan mereka. Selain itu, mereka
telah pandai menggunakan api untuk memasak, memanaskan badan dan mengusir
binatang. Apabila dilihat dari sudut mata pencariannya periode ini disebut masa
berburu dan meramu makanan tingkat sederhana. Pendukung kebudayaan ini adalah
Homo Erectus yang berdiri.
Masa paling awal dari peradaban manusia ini ditandai dengan
ditemukannya fosil-fosil manusia purba yang dalam perhitungan ilmiah berusia
sekitar 1 juta tahun yang lalu. Contoh manusia purba saat itu adalah
Phitecantropus Erectus, yang dari bentuk ukuran tulang pahanya (femur) dapat
dikategorikan sebagai homo erectus atau manusia yang berjalan tegak. Dan alat
berburunya seperti kapak genggam, menunjukkan corak produksi manusia masa itu
masih dalam masa perburuan. Dalam masa ini manusia masih berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lainnya dalam usahanya mendapatkan binatang buruan.
Beberapa peninggalan hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum, di
antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas, monofacial, alat-alat serpih,
chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah dikerjakan kedua sisinya.
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan ke dalam kebudayaan batu teras maupun
golongan flake.
Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan masih sangat kasar.
Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu. Beberapa hasil kebudayaan
dari zaman paleolitikum, di antaranya adalah kapak genggam, kapak perimbas,
monofacial,alat-alat serpih, chopper, dan beberapa jenis kapak yang telah
dikerjakan kedua sisinya.
Contoh alat-alat tsb adalah :
Gambar 1. Kapak Genggam
Kapak Genggam, banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini
biasanya disebut “Chopper” (alat penetak/pemotong)Dinamakan kapak genggam,
karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai dan cara
mempergunakannya dengan cara menggenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan
sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper
artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas
salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya
sebagai tempat menggenggam.
Cara menggunakan
chopper adalah jika kita akan memotong
kayu yang basah atau tali yang besar, sementara kita tidak memiliki alat
pemotong, maka kita dapat mengambil pecahan batu yang tajam. Kayu atau tali
yang akan dipotong diletakan pada benda yang keras dan bagian yang kan dipotong
dipukul dengan batu, maka kayu atau tali akan putus. Itulah, cara menggunakan
kapak penetak atau chopper
Alat-alat dari tulang binatang atau tanduk rusa
Fungsi: -untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah
-
menangkap ikan
Flakes, yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu Chalcedon,yang
dapat digunakan untuk mengupas makanan. Fungsi: -untuk menguliti hewan buruan
-
mengiris
daging buruan
-
memotong
umbi-umbian, buah-buahan
-
menangkap
ikan
Alat-alat ini tidak dapat digolongkan kedalam kebudayaan
batu teras maupun golongan flake. Alat-alat ini dikerjakan secara sederhana dan
masih sangat kasar. Bahkan, tidak jarang yang hanya berupa pecahan batu.
Beberapa contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.. Contoh hasil kebudayaan dari zaman paleolitikum adalah
flake atau alat-alat serpih.
Hasil kebudayaan ini banyak ditemukan di wilayah
Indonesia, terutama di Sangiran (Jawa Tengah) dan Cebbenge (Sulawesi Selatan).
Flake memiliki fungsi yang besar,terutama untuk mengelupas kulit umbi-umbian
dan kulit hewan. Berdasarkan tempat penemuannya, hasil-hasil kebudayaan
Zaman batu tua di Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu kebudayaan
Ngandong dan kebudayaang Pacitan.
a. Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935, von Koenigswald menemukan alat batu dan
kapak genggam di daerah Pacitan.Kapak genggam itu berbentuk kapak,tetapi tidak
bertangkai. Kapak ini masih dikerjakan dengan sangat kasar dan belum
dihaluskan. Para ahli menyebutkan bahwa kapak itu adalah kapak penetak. Selain
di Pacitan alat-alat banyak ditemukan di Progo dan Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi
(Jawa Barat), dan Lahat (Sumatera Utara)
b. Kebudayaan Ngandong
Para ahli berhasil menemukan alat-alat dari tulang,kapak
genggam, alat penusuk dari tanduk rusa dan ujung tombak bergigi di daerah
Ngandong dan Sidoarjo. Selain itu, di dekat Sangiran ditemukan alat sangat
kecil dari betuan yang amat indah. Alat ini dinamakan Serbih Pilah, dan banyak
ditemukan di Cabbenge (Sulawesi Selatan) yang terbuat dari batu-batu indah
seperti kalsedon. Kebudayaan Ngandong juga didukung oleh penemuan lukisan pada dinding
goa seperti lukisan tapak tangan berwarna merah dan babi hutan ditemukan di Goa
Leang PattaE (Sulawesi Selatan)
Hasil kebudayaan cara hidup
pendukung kebudayaan Pacitan
-
kapak
genggam
-
kapak
perimbas
-
alat
serpih
Kebudayaan Ngandong
-
kapak
genggam
-
alat
dari tulang dan
-
tanduk
rusa
-
alat
serpih(flake)
-
berburu
dan mengumpulkan makanan (food gathering), berpindah-pindah(nomaden), mengenal
api, memelihara hewan (Phitecanthropus Erectus) hidup di padang rumput.
Manusia pendukung kebudayaan ini adalah :
1.
Pacitan
: Pithecanthropus dan
2.
Ngandong
: Homo Wajakensis dan Homo soloensis
Pada Zaman Paleolitikum, di samping ditemukan hasil-hasil
kebudayaan, juga ditemukan beberapa peninggalan sebagaimana yang ditemukan di
Sangiran dan Cebbenge, seperti tengkorak (2 buah), fragmen kecil dari rahang
bawah kanan, dan tulang paha (6 buah) yang diperkirakan dari jenis manusia.
Selama masa paleolitikum tengah, jenis manusia itu tidak
banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek
moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis). Hal yang agak aneh karena
Pithecanthropus memiliki dahi yang sangat sempit, busur alis mata yang tebal,
otak yang kecil, rahang yang besar, dan geraham yang kokoh.
2. Zaman Batu Besar (Mesolithikum)
Ciri kebudayaan Mesolithikum tidak jauh berbeda dengan
kebudayaan Palaeolithikum, tetapi pada masa Mesolithikum manusia yang hidup
pada zaman tersebut sudah ada yang menetap sehingga kebudayaan Mesolithikum
yang sangat menonjol dan sekaligus menjadi ciri dari zaman ini yang disebut dengan
kebudayaan Kjokkenmoddinger dan Abris sous Roche.
Alat-alat zaman Mesolithikum :
a.
Kapak
genggam (peble)
b.
Kapak
pendek (hache Courte)
Gambar 2. Kapak Pendek
c.
Pipisan
(batu-batu penggiling)
Gambar 3. Pipisan
d. Kapak-kapak
tersebut terbuat dari batu kali yang dibelah.
Kjokkenmoddinger adalah istilah yang berasal dari bahasa
Denmark yaitu kjokken artinya dapur dan modding artinya sampah jadi
Kjokkenmoddinger arti sebenarnya adalah sampah dapur. Dalam kenyataan
Kjokkenmoddinger adalah timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput yang
mencapai ketinggian ± 7 meter dan sudah membatu/menjadi fosil. Kjokkenmoddinger
ditemukan disepanjang pantai timur Sumatera yakni antara Langsa dan Medan. Dari
bekas-bekas penemuan tersebut menunjukkan bahwa manusia purba yang hidup pada
zaman ini sudah menetap. Tahun 1925 Dr. P.V. Van Stein Callenfels melakukan
penelitian di bukit kerang tersebut dan hasilnya banyak menemukan kapak genggam
yang ternyata berbeda dengan chopper (kapak genggam Palaeolithikum).
Kapak genggam yang ditemukan di dalam bukit kerang
tersebut dinamakan dengan pebble atau kapak Sumatera (Sumatralith) sesuai
dengan lokasi penemuannya yaitu di pulau Sumatera.
Bentuk pebble dapat dikatakan sudah agak sempurna dan
buatannya agak halus. Bahan untuk membuat kapak tersebut berasal dari batu kali
yang dipecah-pecah. Selain pebble yang ditemukan dalam Kjokkenmoddinger juga
ditemukan sejenis kapak tetapi bentuknya pendek (setengah lingkaran) yang
disebut dengan Hache Courte atau kapak pendek. Kapak ini cara penggunaannya
dengan menggenggam.
Di samping kapak-kapak yang ditemukan juga ditemukan pipisan
(batu-batu penggiling beserta landasannya). Batu pipisan selain dipergunakan
untuk menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah, bahan
cat merah yang dihaluskan berasal dari tanah merah. Kecuali hasil-hasil
kebudayaan, di dalam Kjokkenmoddinger juga ditemukan fosil manusia yang berupa
tulang belulang, pecahan tengkorak dan gigi, meskipun tulang-tulang tersebut
tidak memberikan gambaran yang utuh/lengkap, tetapi dari hasil penelitian
memberikan kesimpulan bahwa manusia yang hidup pada masa Mesolithikum adalah
jenis Homo Sapiens.
Abris Sous Roche adalah goa-goa yang yang dijadikan tempat tinggal
manusia purba pada zaman Mesolithikum dan berfungsi sebagai tempat perlindungan
dari cuaca dan binatang buas. Penyelidikan pertama pada Abris Sous Roche
dilakukan oleh Dr. Van Stein Callenfels tahun 1928-1931 di goa Lawa dekat
Sampung Ponorogo Jawa Timur.
Salah satu peninggalan zaman mesolitik berupa Abris sous roche.
Alat-alat Kebudayaan Mesolithikum yang ditemukan di gua-gua yang
disebut “Abris Sous Roche” Adapun alat-alat tersebut adalah :
a.
Flaces
(alat serpih) , yaitu alat-alat kecil yang terbuat dari batu dan berguna untuk
mengupas makanan.
b.
Ujung
mata panah,
c.
Batu
penggilingan (pipisan),
d.
Kapak,
e.
Alat-alat
dari tulang dan tanduk rusa,
Alat-alat ini ditemukan di gua lawa Sampung Jawa Timur (Istilahnya:
Sampung Bone Culture = kebudayaan Sampung terbuat dari Tulang).
Di antara alat-alat kehidupan yang ditemukan ternyata yang paling
banyak adalah alat dari tulang sehingga oleh para arkeolog disebut sebagai
Sampung Bone Culture/kebudayaan tulang dari Sampung. Karena goa di Sampung
tidak ditemukan Pebble ataupun kapak pendek yang merupakan inti dari kebudayaan
Mesolithikum. Selain di Sampung, Abris Sous Roche juga ditemukan di daerah
Besuki dan Bojonegoro Jawa Timur. Penelitian terhadap goa di Besuki dan
Bojonegoro ini dilakukan oleh Van Heekeren.
Di Sulawesi Selatan juga banyak ditemukan Abris Sous Roche terutama
di daerah Lomoncong yaitu goa Leang Patae yang di dalamnya ditemukan flakes,
ujung mata panah yang sisi-sisinya bergerigi dan pebble. Di goa tersebut
didiami oleh suku Toala, sehingga oleh tokoh peneliti Fritz Sarasin dan Paul
Sarasin, suku Toala yang sampai sekarang masih ada dianggap sebagai keturunan
langsung penduduk Sulawesi Selatan zaman prasejarah. Untuk itu kebudayaan Abris
Sous Roche di Lomoncong disebut kebudayaan Toala. Kebudayaan Toala tersebut
merupakan kebudayaan Mesolithikum yang berlangsung sekitar tahun 3000 sampai
1000 SM.
Selain di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan, Abris Sous Roche juga
ditemukan di daerah Timor dan Rote. Penelitian terhadap goa tersebut dilakukan
oleh Alfred Buhler yang di dalamnya ditemukan flakes dan ujung mata panah yang
terbuat dari batu indah.
Tiga bagian penting Kebudayaan Mesolithikum,yaitu :
a.
Peble-Culture
(alat kebudayaan Kapak genggam) didapatkan di Kjokken Modinger
b.
Bone-Culture
(alat kebudayaan dari Tulang)
c.
Flakes
Culture (kebudayaan alat serpih) didapatkan di Abris sous Roche.
Dengan adanya
keberadaan manusia jenis Papua Melanosoide di Indonesia sebagai pendukung
kebudayaan Mesolithikum, maka para arkeolog melakukan penelitian terhadap
penyebaran pebble dan kapak pendek sampai ke daerah teluk Tonkin daerah asal
bangsa Papua Melanosoide. Dari hasil penyelidikan tersebut, maka ditemukan
pusat pebble dan kapak pendek berasal dari pegunungan Bacson dan daerah
Hoabinh, di Asia Tenggara. Tetapi di daerah tersebut tidak ditemukan flakes,
sedangkan di dalam Abris Sous Roche banyak ditemukan flakes bahkan di pulau
Luzon (Filipina) juga ditemukan flakes. Ada kemungkinan kebudayaan flakes
berasal dari daratan Asia, masuk ke Indonesia melalui Jepang, Formosa dan
Philipina.
Berdasarkan uraian materi di atas dapatlah disimpulkan:
a. Kebudayaan Bacson - Hoabinh yang terdiri dari pebble, kapak
pendek serta alat-alat dari tulang masuk ke Indonesia melalui jalur barat.
b. Kebudayaan flakes masuk
ke Indonesia melalui jalur timur.
Untuk lebih memahami penyebaran kebudayaan Mesolithikum ke
Indonesia, maka simaklah gambar 7 peta penyebaran kebudayaan tersebut ke
Indonesia.
Dapat disimpulkan, membandingkan penyebaran kebudayaan Mesolithikum
lebih banyak dibandingkan dengan penyebaran kebudayaan Palaeolithikum. Dengan
demikian masyarakat prasejarah selalu mengalami perkembangan. Pergantian zaman
dari Mesolithikum ke zaman Neolithikum membuktikan bahwa kebudayaannya
mengalami perkembangan dari tingkat sederhana ke tingkat yang lebih kompleks.
3. Zaman Batu Muda (Neolithikum).
Hasil kebudayaan yang terkenal pada zaman Neolithikum ini
adalah jenis kapak persegi dan kapak lonjong. Contoh alat tersebut :
a.
Kapak
Persegi, misalnya Beliung, Pacul dan Torah untuk mengerjakan kayu. Ditemukan di
Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
b.
Kapak
Bahu, sama seperti kapak persegi ,hanya di bagian yang diikatkan pada
tangkainya diberi leher. Hanya di temukan di Minahasa.
c.
Kapak
Lonjong, banyak ditemukan di Irian, Seram, Gorong, Tanimbar, Leti, Minahasa dan
Serawak.
d.
Perhiasan
( gelang dan kalung dari batu indah), ditemukan di jawa.
e.
Pakaian
(dari kulit kayu).
f.
Tembikar
(periuk belanga), ditemukan di daerah Sumatera, Jawa, Melolo(Sumba).
Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa
Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas
dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium.
Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang
besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya
sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah
dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana
lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat
dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon
hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran.
Gambar 4. Kapak Chalcedon.
Daerah asal kapak persegi adalah daratan Asia masuk ke Indonesia
melalui jalur barat dan daerah penyebarannya di Indonesia adalah Sumatera,
Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Walaupun kapak persegi berasal dari daratan Asia, tetapi di
Indonesia banyak ditemukan pabrik/tempat pembuatan kapak tersebut yaitu di
Lahat (Sumatera Selatan), Bogor, Sukabumi, Karawang, Tasikmalaya, Pacitan serta
lereng selatan gunung Ijen (Jawa Timur). Pada waktu yang hampir bersamaan
dengan penyebaran kapak persegi, di Indonesia Timur juga tersebar sejenis kapak
yang penampang melintangnya berbentuk lonjong sehingga disebut kapak lonjong.
Gambar 5. Kapak Lonjong.
Dengan adanya gambar kapak lonjong seperti pada gambar diatas,
bagaimana menurut pendapat Anda bentuk keseluruhan dari kapak lonjong tersebut?
Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya
kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur
dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya
diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah
diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan
Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak
lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah
Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong
tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog
menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
4. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
Megalithikum atau kebudayaan batu besar sesungguhnya
bukanlah mempunyai arti timbulnya kembali
zaman batu sesudah zaman logam, tetapi kebudayaan megalithikum adalah
kebudayaan yang menghasilkan bangunan-bangunan dari batu besar yang muncul
sejak zaman Neolithikum dan berkembang pesat pada zaman logam.
Menurut Von Heine Geldern, kebudayaan Megalithikum
menyebar ke Indonesia melalui 2 gelombang yaitu :
a.
Megalith
Tua menyebar ke Indonesia pada zaman Neolithikum (2500-1500 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Kapak Persegi (Proto Melayu). Contoh bangunan Megalithikum
adalah menhir, punden berundak-undak, Arca-arca Statis.
b.
Megalith
Muda menyebar ke Indonesia pada zaman perunggu (1000-100 SM) dibawa oleh
pendukung Kebudayaan Dongson (Deutro Melayu). Contoh bangunan megalithnya
adalah peti kubur batu, dolmen, waruga Sarkofagus dan arca-arca dinamis.
Dalam uraian di atas, dibuktikan dengan adanya penemuan
bangunan batu besar seperti kuburan batu pada zaman prasejarah, banyak
ditemukan manik-manik, alat-alat perunggu dan besi. Hasil kebudayaan
megalithikum biasanya tidak dikerjakan secara halus, tetapi hanya diratakan
secara kasar dan terutama hanya untuk mendapatkan bentuk yang diperlukan.
Peninggalan kebudayaan megalithikum ternyata masih dapat
Anda lihat sampai sekarang, karena pada beberapa suku-suku bangsa di Indonesia
masih memanfaatkan kebudayaan megalithikum tersebut. Contohnya seperti suku
Nias. Contoh-contoh dari hasil kebudayaan megalithikum yang akan disajikan pada
uraian materi berikut ini.
a)
Menhir
Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang
didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang, sehingga bentuk menhir
ada yang berdiri tunggal dan ada yang berkelompok serta ada pula yang dibuat
bersama bangunan lain yaitu seperti punden berundak-undak. Lokasi tempat ditemukannya menhir di
Indonesia adalah Pasemah (Sumatera Selatan), Sulawesi Tengah dan Kalimantan.
Untuk mengetahui bentuk-bentuk menhir, maka simaklah gambar-gambar berikut ini.
Gambar 6. Menhir
Bangunan menhir yang dibuat oleh masyarakat prasejarah
tidak berpedoman kepada satu bentuk saja karena bangunan menhir ditujukan untuk
penghormatan terhadap roh nenek moyang. Selain menhir terdapat bangunan yang
lain bentuknya, tetapi fungsinya sama yaitu sebagai punden berundak-undak.
2. Punden Berundak-undak
Punden berundak-undak adalah bangunan dari batu yang
bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek
moyang yang telah meninggal. Bangunan
tersebut dianggap sebagai bangunan yang suci, dan lokasi tempat penemuannya
adalah Lebak Sibedug/Banten Selatan dan Lereng Bukit Hyang di Jawa Timur,
sedangkan mengenai bentuk dari punden berundak seperti gambar dibawah ini:
Gambar 7. Punden berundak-undak dan
ilustrasinya.
Candi Borobudur di Jawa Tengah adalah bangunan pemujaaan
untuk umat Budha, dan menurut Prof. Dr. Sutjipto Wirgosuparto, arsitektur
bangunan Borobudur merupakan tiruan atau kelanjutan dari punden berundak-undak.
Persamaan antara Borobudur dengan Punden Berundak-undak
adalah sama-sama sebagai bangunan suci karena berfungsi untuk tempat pemujaan.
Adapun perbedaannya candi Borobudur merupakan bangunan suci umat Budha, dan
bentuk bangunannya sempurna dan indah karena penuh dengan relief dan ragam
hias. Sedangkan Punden Berundak-undak hanyalah bangunan biasa yang terbuat dari
batu yang disusun bertingkat-tingkat tanpa relief ataupun ragam hias dan
sebagai tempat memuja arwah nenek moyang yang sudah meninggal.
3. Dolmen
Dolmen merupakan meja dari batu yang berfungsi sebagai
tempat meletakkan saji-sajian untuk pemujaan. Adakalanya di bawah dolmen
dipakai untuk meletakkan mayat, agar mayat tersebut tidak dapat dimakan oleh
binatang buas maka kaki mejanya diperbanyak sampai mayat tertutup rapat oleh
batu. Dengan demikian dolmen yang berfungsi sebagai tempat menyimpan mayat
disebut dengan kuburan batu. Lokasi penemuan dolmen antara lain Cupari
Kuningan/Jawa Barat, Bondowoso/Jawa Timur, Merawan, Jember/Jatim,
Pasemah/Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.
Gambar 8 . Dolmen
Bagi masyarakat Jawa Timur,
dolmen yang di bawahnya digunakan sebagai kuburan/tempat menyimpan mayat lebih
dikenal dengan sebutan Pandhusa atau makam Cina.
4. Sarkofagus
Sarkofagus adalah keranda batu atau peti mayat yang
terbuat dari batu. Bentuknya menyerupai lesung dari batu utuh yang diberi
tutup. Dari Sarkofagus yang ditemukan umumnya di dalamnya terdapat mayat dan
bekal kubur berupa periuk, kapak persegi, perhiasan dan benda-benda dari
perunggu serta besi.
Daerah tempat ditemukannya sarkofagus adalah Bali. Menurut
masyarakat Bali Sarkofagus memiliki kekuatan magis/gaib. Berdasarkan pendapat
para ahli bahwa sarkofagus dikenal masyarakat Bali sejak zaman logam.
Gambar 9. Sarkofagus
5. Peti kubur
Peti kubur adalah peti mayat yang terbuat dari batu-batu
besar. Kubur batu dibuat dari lempengan/papan batu yang disusun persegi empat
berbentuk peti mayat yang dilengkapi dengan alas dan bidang atasnya juga
berasal dari papan batu.
Daerah penemuan peti kubur adalah Cepari Kuningan, Cirebon
(Jawa Barat), Wonosari (Yogyakarta) dan Cepu (Jawa Timur). Di dalam kubur batu
tersebut juga ditemukan rangka manusia yang sudah rusak, alat-alat perunggu dan
besi serta manik-manik. Dari penjelasan tentang peti kubur, tentu Anda dapat
mengetahui persamaan antara peti kubur dengan sarkofagus, dimana keduanya
merupakan tempat menyimpan mayat yang disertai bekal kuburnya.
Gambar 10 . Peti kubur
Perbedaaan Peti Kubur Dengan Sarkofagus, bahwa sarkofagus adalah keranda/peti mayat
yang dibuat dari batu yang masih utuh dan batu utuh tersebut dibentuk seperti
lesung yang ada tutupnya. Sedangkan peti kubur adalah peti mayat yang dibuat
lempengan-lempengan batu/papan-papan batu disusun membentuk kotak batu yang
disertai dengan tutupnya,
6. Arca batu
Arca/patung-patung dari batu yang berbentuk binatang atau
manusia. Bentuk binatang yang digambarkan adalah gajah, kerbau, harimau dan
moyet. Sedangkan bentuk arca manusia yang ditemukan bersifat dinamis.
Maksudnya, wujudnya manusia dengan penampilan yang dinamis seperti arca batu
gajah.
Arca batu gajah adalah patung besar dengan gambaran
seseorang yang sedang menunggang binatang yang diburu. Arca tersebut ditemukan
di daerah Pasemah (Sumatera Selatan). Daerah-daerah lain sebagai tempat
penemuan arca batu antara lain Lampung, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Gambar 11. Arca Batu Gajah dari
Pasemah.
Pada gambar Arca Batu Gajah dari Pasemah tersebut terdapat gambar nekara kecil yang
diikat di punggung. Dengan melihat gambar tersebut sebagai salah satu contoh
peninggalan Megalithikum, dapat memberikan kesimpulan hubungan antara
Kebudayaan Megalithikum dengan Kebudayaan Perunggu seperti yang terlihat pada
Arca Batu Gajah.
Penelitian terhadap Kebudayaan Megalithikum di dataran
tinggi Pasemah/Sumatera Selatan dilakukan oleh Dr. Van Der Hoep dan Van Heine
Geldern. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Kebudayaan Perunggu
mempengaruhi Kebudayaan Megalithikum atau dengan kata lain Kebudayaan
Megalithikum merupakan cabang dari Kebudayaan Dongson (Perunggu).
Kesimpulan ini dibuat karena di Pasemah banyak ditemukan
peninggalan budaya Megalith dan budaya perunggu, seperti patung/arca prajurit
dengan topi logam/helm yang mengendarai kerbau atau gajah. Prajurit tersebut
juga membawa nekara kecil pada panggungnya.
2. Zaman Logam
Pada zaman prasejarah, zaman dibedakan berdasarkan alat-alatnya,
yaitu, zaman batu dan logam. Zaman batu yang termuda adalah zaman neolitikum
dan zaman selanjutnya adalah zaman logam. Dengan dimulainya zaman logam, bukan
berati berakhir zaman batu, karena pada zaman logam masih terdapat alat-alat
dan perkakas batu. Nama zaman logam hanya untuk menyatakan bahwa saat itu logam
telah dikenal dan dipergunakan orang
untuk membuat alat-alat yang diperlukan.
Logam tidak dapat dipukul-pukul atau dipecah seperti batu guna
mendapat alat yang dikehendaki. Logam harus dilebur dahulu dari bijinya untuk
dapat dipergunakan. Leburan logam itu yang kemudian dicetak. Tehnik pembuatan
benda-benda dari logam itu dinamakan <<a cire perdue>>, dan caranya
adalah: benda yang dikehendaki dan dibuat terlebih dahulu dari lilin, lengkap
dengan bagian-bagiannya. Kemudian model dari dari lilin itu ditutup dengan
tanah. Dengan jalan dipanaskan maka selubung tanah ini menjadi keras, sedangkan
lilinnya menjadi cair dan mengalir ke luar lubang yang telah disediakan di
dalam selubung itu. Jika telah habis lilinnya, dituangkan logam cair ke dalam
geronggang tempat lilin tadi. Dengan demikian logam itu menggantikan model
lilin tadi. Setelah dingin semuanya, selubung tanahnya dipecah, dan keluarlah benda
yang dikehendaki itu, bukan dari lilin melainkan logam.
Dari zaman-zaman prasejara, dapat ketahui bahwa zaman logam dibagi
lagi atas zaman tembaga, perunggu dan besi. Asia Tenggara tidak mengenal zaman
tembaga. Setelah neolitikum langsung ke zaman perunggu dan berlanjut ke zaman besi. Di Indonesia zaman
logam pun sulit untuk dibago ke dalam zaman perunggu atau besi. Bisa dikatakan
bahwa zama logam di Indonesia hanya zama perunggu, karena alat-alat perkakas
besi tidak banyak bedanya dengan alat-alat zaman perunggu.
a.
Zaman
Perunggu
Zaman Perunggu adalah masalah dalam perkembangan sebuah peradaban
ketika kerajinan logam yang paling maju telah mengembangkan teknik melebur
tembaga dari hasil bumi dan membuat perunggu. Zaman Perunggu adalah bagian dari
sistem tiga zaman untuk masyarakat prasejarah dan terjadi setelah Zaman
Neolitikum di beberapa wilayan di dunia. Di sebagian besar Afrika subsahara,
Zaman Neolitikum langsung diikuti Zaman Besi.
Zaman perunggu berlangsung kurang lebih 500 tahun SM. Teknik pembuatannya
adalah a cire perdue (cetak hilang, hanya sesekali untuk mencetak). Contoh di
Bali ditemukan cetak nekara dari batu. Yang dicetak dengan cetakan batu adalah
nekara lilin, sedangkan nekara perunggunya dicetak dengan a cire perdue. Di
jaman sekarang orang membuat cetakan yang dapat dipakai berkali-kali disebut
bivalve (dua setangkup). Perunggu merupakan campuran timah putih dan tembaga.
Pada zaman perunggu atau yang disebut juga dengan kebudayaan
Dongson-Tonkin Cina (pusat kebudayaan)ini manusia purba sudah dapat mencampur
tembaga dengan timah dengan perbandingan 3 : 10 sehingga diperoleh logam yang
lebih keras.
Alat-alat perunggu pada zaman ini antara lain :
a.
Kapak
Corong (Kapak perunggu, termasuk golongan alat perkakas) ditemukan di Sumatera
Selatan, Jawa-Bali, Sulawesi, Kepulauan Selayar, Irian
b.
Nekara
Perunggu (Moko) sejenis dandang yang digunakan sebagai maskawin. Ditemukan di
Sumatera, Jawa-Bali, Sumbawa, Roti, Selayar, Leti
c.
Benjana
Perunggu ditemukan di Madura dan Sumatera.
d.
Arca
Perunggu ditemukan di Bang-kinang (Riau), Lumajang (Jawa Timur) dan Bogor (Jawa
Barat.
a)
Kapak
Corong
Gambar 12. Kapak Corong
Pada zaman kebudayaan di Eropa, menghasilkan kapak-kapak tembaga
yang masih menyerupai kapak batu. Bentuk dan wujud dari kapak tembaga itu tidak
berbeda dari dari kapak batu, bahkan sering terdapat tanda bahwa sengaja
tembaga itu menyerupai bentuk batu.
Di Indonesia, kapak logam yang ditemukan adalah kapak perunggu yang
sudah menyerupai bentuk tersendiri. Kapak ini biasanya dinamakan”kapak sepatu”,
maksudnya ialah kapak yang bagian atasnya berbentuk corong yang sembirnya
belah, sedangkan ke dalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya yang menyiku
kepada bidang kapak. Jadi, seolah-olah kapak disamakan dengan sepatu dan
tangkainya dengan kaki orang. Lebih tepat kapak ini dinamakan kapak corong.
Kapak corong banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jawa, Bali,
Sulawesi Tengah dan Selatan, pulau Selayar dan Irian dekat danau Sentani.
Berbagai jenis ditemukan, ada yang kecil bersahaja, ada yang besar dan memakai
hiasan; ada yang pendek lebar, ada yang bulat, dan ada pula yang panjang satu
sisi. Yang panjang satu sisi disebut Cendrasa. Tidak semua kapak itu
dipergunakan sebagai kapak. Misalnya, yang kecil adalah tugal, sedangkan yang
sangat indah dan juga cendrasa tidak dapat digunakan sebagai perkakas dan hanya
dipakai sebagai tanda kebesaran dan alat upacara saja.
Cara pembuatan kapak-kapak corong itu menunjukkan adanya tehnik a
cire perdue. Di dekat Bandung ditemukan cetakan dari tanah bakar untuk menuang
kapak corong. Berdasarkan penyelidikan, menyatakan bahwa yang dicetak bukan
logamnya, melainkan kapak yang dibuat dari lilin, ialah kapak yang menjadi
kodel dari kapak loamnya. Cetakan-cetakan itu membutikan bahwa kapak-kapak
perunggu bukan barang luar negeri saja, melainkan negeri Indonesia pun
mengenalnya.
b)
Nekara
Gambar 13. Nekara
Nekara adalah semacam berumbung dari perunggu yang berpinggang di
bagian tengahnya dan sisi atasnya tertutup. Nekara yang ditemukan di Indonesia
hanya beberapa yang utuh. Bahkan ada yang berupa pecahan-pecahan saja. Nekara
itu ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali, pulau Sangean dekat Sumbawa, Roti, Leti,
Selayar dan di Kepulauan Kei. Di Alor banyak pula tedapat nekara, tetapi lebih
kecil dan ramping daripada yang ditemukan di lain-lain tempat. Nekara yang
demikian itu disebut moko. Dari hias-hiasannya dapat diketahui bahwa moko itu
tidak semunya berasal dari zaman perunggu. Ada diantaranya yang berasal
darizaman majapahit, bahkan ada yang dibuat dari zaman mutakhir abad 19, dengan
memakai hiasan lencana Inggris. Sampai kini moko sangat dihargai penduduk dan
hanya disimpan saja sebagai pusaka dan ada dipergunakan sebagai maskawin.
Di Bali terdapat nekara yang besar sekali. Sampai kini yang
terbesar dan masih utuh tingginya 1,86 meter dan garis tengahnya 1, 60 meter.
Nekara itu dianggap sangat suci dan dipuja penduduk. Tidak hanya di Bali, di
tempat lain nekara pun dianggap barang suci.
Penyelidikan menunjukan bahwa nekara ini memang hanya dipergunakan waktu
upacara-upacara saja.
Hiasan-hiasan itu sangat luar biasa pentingnya untuk sejarah
kebudayaan, oleh karena dari berbagai lukisan itu, kita dapat gambaran tentang
kehidupan dan kebudayaan yang ada pada saat itu. Dari hiasan-hiasan itu nampak
dengan nyata, bahwa kebudayaan perunggu Indonesia tidak berdiri sendiri,
melainkan hanya merupakan bagian dari lingkungan kebudayaan yang lebih luas
yang meliputi seluruh Asia Tenggara.
Pada nekara dari Sangean ada ganbar orang menunggang kuda beserta
dengan pengiringnya, keduanya memakai pakaian Tatar. Gambar-gambar orang
Tatar itu memberi petunjuk akan adanya
hubungan dengan daerah Tiongkok. Pengaruh dari zaman itu masih nyata pada seni
hias suku bangsa Dayak dan Ngada(Flores).
Nekara dari Sangean dan kepulauan Kei dihiasi gambar-gambar gajah,
merak dan harimau, semuanya bukan bintang dari bagian timur. Maka dapat
disimpulkan bahwa nekara-nekara itu dari lain tempat asalnya, ialah bagian dari
barat Indonesia dan benua Asia. Jelas bahwa persebaran nekara-nekara di
Indonesia dari barat ke timur jalannya. Dapat dikatakan bahwa tidak semua
nekara berasal dari luar Indonesia. Ada pula buatan dalam negeri. Di desa Manuaba(Bali) ditemukan sebagian dari
cetakan batu untuk membuat nekara, kini disimpan dan dipuja di sebuah pura di
desa tersebut. Batu cetakan itu diukir oleh hiasan-hiasan yang biasa terdapat
pada nekara, terutama sebagian dari hiasan-hiasan nekara pajeng. Adanya batu
cetakan nekara itu memberi kesan bahwa, nekara itu pembuatannya dengan cara
menuangkan cairan perunggu ke dalam cetakan tadi. Akan tetapi banyak ahli
berpendapat bahwa yang dicetak dengan cetakan batu itu hanyalah nekara lilinnya
saja, sedangkan nekara perunggu dibuat dengan cara a cire perdue.
c)
Benda-benda
lainnya
Selain kapak corong dan nekara, banyak benda-benda lain yang
didapatkan dari zaman perunggu, sebagian besar berupa perhiasan seperi: gelang,
binggel (gelang kaki), anting-anting, kalung dan cincin. Ada cincin yang sangat
kecil. Yang tidak dapat dimasukkan jari anak-anak, ini dapat digunakan sebagai
alat penukaran uang.
Seni menuang patung juga sudah ada. Dengan adanya beberapa buah
patung, di antaranya arca-arca orang yang sikapnya aneh dan satu arca lagi
berupa kerbau. Ada juga beberapa patung kecil kepala binatang dengan badan yang
serupa pembuluh; pada bagian atas badannya ditempel semacam cincin, sehingga
benda itu dapat digantung, ini dapat digantung sebagai liontin(perhiasan yang
menggantung pada kalung).
Dari daerah tepi danau Kerinci dan dari pulau madura ditemukan
bejana perunggu yang bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng.
Kueduanya mempunyai hiasan ukiran yang serupa dan sangat indah, berupa
gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf j. Di samping itu pada
bejana dari Madura nampak pula gambar-gambar merak dan rusa dalam kotak-kotak
segitiga.
Selain benda-benda perunggu ada lagi benda yang bukan dari perunggu
tetapi ada pada zaman perunggu asalnya, yaitu manik-manik dari kaca. Terdapat
pada kuburan-kuburan, jumlahnya sangat besar, sehingga memberi corak istimewa
pada zaman perunggu itu. Manik itu sebagai nekara kecil dan mata uang, dibawa
kepada orang yang telah meninggal sebagai bekal ke akhirat. Dapat dikatakan
bahwa pada zaman perunggu, orang telah pandai membuat dan menuang kaca. Hanya
tehniknya saja yang masih sederhana, karena hasilnya yang kebanyakan agak kasar
dan kadang-kadang masih bercampur pasir(pasir adalah bahan membuat kaca).
Manik-manik itu ada yang besar dan ada yang kecil. Bentuknya pun
bermacam-macam, begitu pula warnanya:kuning, merah, biru, hijau, dan putih. Banyak
pula yang berwarna banyak, hasil pencampuran berbagai lapis kaca dengan warna
yang berlainan. Manik-manik itu dibuat dan dipakai sampai zaman sejarah. Sampai
kini banyak orang dan suku bangsa di Indonesia yang sangat menyukai dan
menghargai barang itu, sehingga menjadi barang perdagangan, misalnya di
Kalimantan, Timor dan Irian.
b.
Zaman
Besi
Dalam arkeologi, Zaman Besi adalah suatu tahap perkembangan budaya
manusia di mana penggunaan besi untuk pembuatan alat dan senjata sangat
dominan. Penggunaan bahan baru ini, di dalam suatu masyarakat sering kali
mencakup perubahan praktik pertanian, kepercayaan agama, dan gaya seni,
walaupun hal ini tidak selalu terjadi.
Zaman Besi adalah periode utama terakhir dalam sistem tiga zaman
untuk mengklasifikasi masyarakat prasejarah, yang didahului oleh Zaman
Perunggu. Waktu berlangsung dan konteks zaman ini berbeda, tergantung pada
negara atau wilayah geografis. Secara klasik, Zaman Besi dianggap dimulai pada
Zaman Kegelapan Yunani pada abad ke-12 SM dan Timur Tengah Kuno, abad ke-11 SM
di India, dan antara abad ke-8 SM (Eropa Tengah) dan abad ke-6 SM (Eropa Utara)
di Eropa. Zaman Besi dianggap berakhir dengan kebangkitan kebudayaan Hellenisme
dan Kekaisaran Romawi, atau Zaman Pertengahan Awal untuk kasus Eropa Utara.
Zaman Besi berhubungan dengan suatu tahap di mana produksi besi
adalah salah satu bentuk paling rumit dari kerajinan logam. Kekerasan besi,
titik lebur yang tinggi, dan sumber bijih besi yang melimpah, membuat besi
lebih dipilih dan murah dari pada perunggu, yang memengaruhi dipilihnya besi
sebagai logam yang paling umum digunakan. Karena kerajinan besi diperkenalkan
secara langsung ke Amerika dan Australasia oleh kolonisasi Eropa, daerah-daerah
tersebut tidak pernah mengalami Zaman Besi.
Pada zaman ini orang sudah dapat melebur besi dari bijinya untuk
dituang menjadi alat-alat yang diperlukan. Teknik peleburan besi lebih sulit
dari teknik peleburan tembaga maupun perunggu sebab melebur besi membutuhkan
panas yang sangat tinggi, yaitu ±3500 °C.
Pada masa ini manusia telah dapat melebur besi untuk dituang
menjadi alat-alat yang dibutuhkan, pada masa ini di Indonesia tidak banyak
ditemukan alat-alat yang terbuat dari besi.
Alat-alat yang ditemukan adalah :
• Mata kapak, yang
dikaitkan pada tangkai dari kayu, berfungsi untuk membelah kayu
• Mata Sabit, digunakan
untuk menyabit tumbuh-tumbuhan
• Mata pisau
• Mata pedang
• Cangkul, dll
Jenis-jenis benda tersebut banyak ditemukan di Gunung
Kidul(Yogyakarta), Bogor, Besuki dan Punung (Jawa Timur)
c.
Zaman
Tembaga
Orang menggunakan tembaga sebagai alat kebudayaan. Alat kebudayaan
ini hanya dikenal di beberapa bagian dunia saja. Di Asia Tenggara (termasuk
Indonesia) tidak dikenal istilah zaman tembaga.
d.
Kebudayaan
Dongson
Kebudayaan Đông sơn adalah kebudayaan zaman perunggu yang
berkembang di lembah sông hồng,vietnam. Kebudayaan ini juga berkembang di asia
tenggara, termasuk di nusantara dari sekitar 1000 sm sampai 1 sm. Kebudayaan
dongson mulai berkembang di indochina pada masa peralihan dari periode mesolitik
dan neolitik yang kemudian periode megalitik. Pengaruh kebudayaan dongson ini
juga berkembang menuju nusantara yang kemudian dikenal sebagai masa kebudayaan
perunggu.
Asal mula kebudayaan ini berawal dari evolusi kebudayaan
austronesia . Asal usulnya sendiri telah dicari dari barat dan bahkan ada yang
berpendapat bahwa kelompok itu sampai di dongson melalui asia tengah yang tidak
lain adalah bangsa yue-tche .namun pendapat ini sama halnya dengan pendapat
yang mengaitkan dongson dengan kebudayaan halstatt yang ternyata masih
diragukan kebenarannya.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa benda-benda perunggu di yunnan
dengan benda-benda yang ditemukan di dongson. Meski harus dibuktikan apakah
benda-benda tersebut dibuat oleh kelompok-kelompok dari barat sehingga dari
periode pembuatannya, dapat menentukan apakah benda tersebut adalah model untuk
dongson atau hanyalah tiruan-tiruannya. Jika dugaan ini benar maka dapat
menjelaskan penyebaran kebudayaan dongson sampai ke dataran tinggi burma.
Benda-benda arkeologi dari dongson sangat beraneka ragam, dari
berbagai aliran. Terlihat dari artefak-artefak kehidupan sehari-hari ataupun
peralatan bersifat ritual yang sangat rumit. Perunggu adalah bahan pilihan.
Benda-benda seperti kapak dengan selongsong, ujung tombak, pisau belati, mata
bajak, topangan berkaki tiga dengan bentuk yang indah. Kemudian gerabah dan
jambangan rumah tangga, mata timbangan dan kepala pemintal benang,
perhiasan-perhiasan termasuk gelang dari tulang dan kerang, manik-manik dari
kaca dan lain-lain. Karya yang terkenal adalah nekara besar diantaranya nekara
ngoc-lu yang kini disimpan di museum hanoi, serta patung-patung perunggu yang
sering ditemukan di makam-makam pada tahapan terakhir masa dongson.
Contoh karya yang terkenal
a)
Nekara
Ngoc Lu
Gambar 14. Nekara Ngoc Lu
b)
Tombak
Dong son
Gambar 15. Dong Son
Kebudayaan Dongson yang berkembang di situs Dongson, ternyata juga
ditemukan karya-karya budaya yang diinspirasikan oleh kebudayaan tersebut di
bagian selatan*Semenanjung Indochina (Samrong, Battambang di Kamboja) hingga
Semenanjung Melayu (Sungai Tembeling di Pahang dan Klang di Selangor) hingga
Nusantara (Indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar